Kebenaran (sejati) dalam hidup


Mengapa kita hidup?
Siapa yang menghidupkan kita?
Mengapa kita harus hidup?


Masing-masing kita tentu memiliki jawaban yang berbeda-beda, tapi satu yang pasti apakah semua itu berkait dengan apa yang dinamakan kebetulan semata?
By accident?

Saat ini saya sedang berada pada lingkungan yang sangat ilmiah.. yang mana segala sesuatunya harus bisa dijawab secara ilmiah, pendapat pribadi pun (bahkan dalam diskusi informal pun) harus merujuk kepada suatu atau sebuah sumber, jika tidak... ya percuma kita diskusi karena kamu tidak bisa memaparkan data-data pendukung untuk memperkuat argumenmu. Whalah!

Kita hidup dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Kita yang hidup di pedusunan.. persepsi kita terhadap suatu hal dipengaruhi oleh transformasi nilai-nilai pada lingkungan tempat kita tinggal, nilai-nilai itulah yang menjadi nilai bersama, yang dipatuhi dan diyakini oleh komunitas itu.
Sama juga dengan kita yang hidup di pesantren, seminari, sinagog, padepokan, universitas, akademi militer, polisi, whatever... mereka akan selalu mencekokkan nilai-nilai mereka kepada kita, transformasi nilai, brainwashing, new paradigm... sesuatu yang sebelumnya sangat asing bagi kita.

Sesekali kita akan terpesona dan terkagum... ckckck.. mengangguk tanda setuju... sesekali pula hati kecil kita memberontak dan bernafsu untuk menentangnya. Dan kita akan tersenyum atau tertawa penuh kepuasaan jika argumen dan pendapat kita menjadi pemenang. Saya punya teman yang cukup fasih berceloteh tentang filsafat, epistemologi.. dan dari pengamatan saya dalam setiap diskusi ia selalu berusaha mendominasi dengan argumennya... jarang sekali iya menerima argumen orang lain.. setuju dan mengakhiri diskusi dengan senyum bagi setiap orang yang terlibat. Dengan berbagai referensi yang pernah dibaca dan dikuasainya ia selalu berusaha menceramahi peserta diskusi yang lain, jika ada yang tidak sependapat ia akan terus-mengeluarkan jurus-jurusnya, meski kadang-kadang ada beberapa fakta yang meleset. Suatu ketika di dalam kelas ia mencoba mempertanyakan dan berargumen dengan seorang profesor, panjang lebar ia berusaha mempertanyakan fakta yang diberikan oleh sang profesor. Tapi apa lacur, apa yang selama ini dikuasai dan diceramahkannya ternyata salah. Dengan cukup bijak sang profesor meluruskannya. Tidak terima dengan penjelasan profesor ia mengajukan argumen lain... jadilah suasana kelas sebagai debat 2 orang dan yang lain hanya sebagai penonton doang. Saat pulang, secara becanda teman tadi mengatakan sesuatu kepada saya bahwa ia cukup puas ngerjain dan mendebat profesor tadi dengan argumennya.

Universitas, tempat saya menuntut ilmu malah saya pertanyakan manfaatnya. Apakah kita dididik untuk bisa berdebat, berargumentasi, mendapat nilai bagus, dikenal orang banyak, atau apa? Inilah kegundahan saya sejak dulu... makin banyak universitas, makin banyak orang pinter tapi dunia ini bukannya malah lebih baik. Pertentangan, konflik, bahkan zero sum game bisa kita lihat dan jumpai di mana-mana. Apa ini? Manfaat apa yang kita dapatkan dari ilmu yang turun-temurun dicekokkan kepada umat manusia yang beruntung punya uang dan bisa sekolah di perguruan tinggi?

Satu hal yang menyesakkan adalah... dalam kita membahas ilmu, kita nggak boleh bawa-bawa Tuhan... itu abstrak dan tidak bisa dijelaskan. Mengapa ?
Apa salahnya? Saya tidak bisa berhenti berpikir... mengapa? Apa salah Tuhan sehingga tidak boleh masuk ke ruang kuliah? Ke dalam diskusi?

Apakah mereka takut otoritas mereka tersaingi oleh wacana Tuhan? Ini yang membuat saya tidak habis pikir... Apa gunanya mereka mengakui... Ketuhanan Yang Maha Esa, The Al Mighty.. whatever... di sisi lain mereka menancapkan pengaruh dan otoritasnya pada orang lain.

Saya jadi curiga... merebaknya kebebasan berpikir yang membuat kita orang yang terpelajar.. intelek tapi makin jauh dari nilai ketuhanan adalah sebuah skenario untuk menancapkan otoritas baru sebagai dampak mereka yang selama ini terkalahkan oleh otoritas agama dan Tuhan. Terkalahkan dalam arti nafsu mereka terhalangi oleh berbagai bentuk dogma atau bisa juga mereka tidak punya pengikut... orang-orang bloon yang mau dicekoki oleh kebenaran yang mereka temukan entah di mana. Mereka masuk ke universitas, akademi, diskusi, seminar dan berbagai forum strategis untuk menelorkan idenya... membangun otoritas baru... mendekonstruksi otoritas yang sudah mapan.

Bagi saya, apapun ideologi... pemikiran.. filsafat... tidak ada artinya jika tidak dapat menjawab 3 pertanyaan di atas. Bukannya ilmu itu untuk memperkaya hidup... menemukan kesejatian hidup... bukannya malah mempersulit hidup itu sendiri.

Aneh, banyak orang mengklaim kebenaran dalam hidup... dengan ilmu, dalil, pemikiran, filsafat dan argumentasinya masing-masing. Tapi mengapa jika dipersatukan bukannya kita menemukan kebenaran yang lebih besar? Tapi malah perseteruan dan konflik?
Di mana kebenaran yang mereka gembar-gemborkan?
Di mana kebenaran sejati yang mencerahkan?
Yang mengangkat harkat dan martabat kehidupan itu sendiri... bukannya aku bicara maka aku ada.. aku sekolah maka aku pandai dan kamu bodoh... aku berpikir maka aku harus didengar...

Di mana kita bisa hidup dengan kebenaran sejati?

Wallahu'alam.

Share this:

Penulisan markup di komentar
  • Untuk menulis huruf bold silahkan gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic silahkan gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline silahkan gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought silahkan gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML silahkan gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silahkan parse dulu kodenya pada kotak parser di bawah ini.
Show Parser Box

Disqus CommentsLoadHide