Tetenger jaman
Wadone pamer aurat, lanange ngumbar syahwat, sing laris jamu kuwat.
Wong gedhe seneng maksiat, wong cilik sangsaya nekat.
Rina wengi keprungu sesambat, merga akeh wong mlarat, uripe kesrakat, ora kuwat ngingoni brayat, batur mburi ora kerumat.
Usum ketiga kaline asat, usum rendheng ngelebi jagat.
Lindhu kaliwat-liwat, samudra munggah darat.
Eling-elinga sira manungsa, mung bakal slamet yen jagat diruwat, padha sregep sholat, salawat lan munajat, Pangeran bakal paring rahmat."
Lucu, miris, putus asa ... apapun perasaan kita melihat isi dari cuplikan Serat Kudrat kiriman kolega Prof. Eko Budihardjo, mantan rektor UNDIP, seniman, budayawan dan juga arsitek ... menggugah nurani dan kesadaran kita sebagai manusia (yang masih merasa dan memilikinya) akan fenomena alam yang bertautan dengan perilaku manusia.
Gejala alam yang beraneka rupa dan banyak menimbulkan kerugian bagi manusia sebenarnya merupakan tanda alam bagi mereka yang bijak dalam membaca dan menanggapinya. Mereka yang waskita, masih memiliki naluri kemanusiaannya. Bahwa hal ini merefleksikan ketidakseimbangan alam yang disebabkan oleh perilaku manusia. Mereka yang selama ini bisanya hanya mengandalkan akal saja jelas akan menolak hal ini tapi mereka yang juga berpegang kepada akal dan hati akan melihat dengan lebih jauh ... alam memberikan akibat atas perbuatan manusia.
Ada sebuah ilustrasi menarik mengenai hal ini , jika seseorang pergi ke bibir jurang atau lembah dan kemudian ia meneriakkan kata yang kotor ... maka beberapa detik kemudian kata itu akan kembali kepada si pengucap. Sama halnya dengan kata yang baik, itu artinya alam hanyalah media yang memberikan respon atas perilaku manusia itu sendiri. Perilaku baik akan direspon dengan baik , begitu pula sebaliknya. Alam hanya memberikan apa yang kita berikan , baik kembali baik, buruk kembali buruk juga.
Namun banyak manusia tidak menyadari hal yang sebenarnya sepele ini. Jika kita perhatikan cerita para leluhur kita yang sangat arif dalam berperilaku dan mengelola alam, maka kita akan mendengar dan menjumpai alam yang masih bersahabat dengan mereka ... air melimpah, udara sejuk, musim yang masih dapat diprediksi dan tanaman yang memberikan hasil serta kesejahteraan yang cukup. Semua itu sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang ... air semakin tahun semakin sedikit debitnya, bahkan harga air sangatlah mahal di beberapa tempat, udara menjadi kian panas ... kata orang ada fenomena yang disebut global warming yang juga berdampak kepada musim yang tidak lagi dapat diprediksi. Musim tanam, pelihara dan panen menjadi semakin kacau karena hujan dan panas tidak lagi merata sepanjang tahun. Beberapa tempat yang jika kemarau kekeringan dan kekurangan air pada musim penghujan berbalik berlimpah air alias kebanjiran. Tanaman makin aneh, makin banyak penyakit ... obat temuan manusia tidak ada artinya sama sekali ... malahan penyakit tanaman semakin ganas .. hasilnya tanaman tidak lagi menjadi sumber penghidupan dan kesejahteraan manusia.
Wahai saudaraku ... apa yang harus kita lakukan?Tidak ada alternatif lain selain kita harus bermigrasi atau berhijrah ... merubah dari yang buruk, merugikan seperti ketidakpedulian, ketidakjujuran, ketamakan dan keburukan pekerti pribadi yang berakibat pada sesama mahluk termasuk alam, menjadi baik ... perilaku yang PEDULI, JUJUR, MURAH HATI dan BUDI PEKERTI LUHUR .. kepada siapapun termasuk kepada alam. Hijrah dengan perbaikan sifat ini adalah sesuatu yang fundamental dan signifikan untuk memperbaiki krisis di manapun itu berada baik yang di level negara maupun pribadi. Saya sangat yakin, jika kita menafikan dan makin tidak peduli dengan hati kita bahkan melestarikan perilaku yang semakin menghebat ini maka dapat dipastikan bahwa kerusakan akan semakin parah, ya manusianya ya alamnya. Coba saja he ...