Memang sulit untuk berdiri kokoh di dalam struktur masyarakat yang masih mengagungkan sesuatu bernama materi termasuk di dalamnya titel atau gelar akademis, walau sebenarnya ada juga yang lain seperti misalnya titel H atau Hj. dengan segala hormat . Apa sih fungsi titel? Menunjukkan prestise? Gengsi? Kompetensi? atau sekedar pencapaian hidup seseorang biar diakui atau dianggap hebat oleh masyarakat?
Kita berdiri pada masyarakat yang belum memahami di mana tempat dan fungsi titel itu diletakkan ... mereka yang bertitel umumnya diperlakukan dengan lebih .. lebih dimuliakan .. lebih dihormati .. lebih dipandang mampu dan cakap... ada konsekuensi yang cukup miris bagi kita yaitu kelebihan dari sisi harta atau materi. Contohnya dalam masyarakat lazim jika seseorang menyandang titel dokter, insinyur , master atau Ph.D, maka dipastikan orang itu "harus" sugih/kaya... punya rumah yang megah... mobil keluaran terakhir... penampilan harus OK... di kampung harus dermawan... tanpa masyarakat tahu dari mana rizki yang mereka peroleh dan dengan jalan apa...
Demikianlah tuntutan status pada masyarakat di mana kita hidup. Penghormatan dan penghargaan baru sebatas atribut material yang melekat.. walapun banyak peristiwa yang menjelaskan bahwa status tidak mesti sebanding dengan kekayaan.
Ada seorang kepala kelurahan di tempat kita tinggal yang sangat "dermawan", nyah nyoh alias gampang mengeluarkan uang untuk orang lain... kerja bhakti ya nyumbang makanan, rokok... rumahnya sangat mewah untuk ukuran kita yang tinggal di perumnas hehehe... mobil keluaran tahun terakhir... dan kemarin pas mantu alias punya gawe menikahkan anak perempuannya acaranya sangat luar biasa... 3 hari 3 malam nonstop tamu berdatangan... Itulah momentum puncak Pak Lurah dengan statusnya... karena seminggu kemudian dia harus berurusan dengan polisi karena terlibat berbagai kasus makelar (perantara tanah dan bangunan) penggelapan pajak, manipulasi dokumen, pungutan tidak resmi dan hutang dengan beberapa bank. Cukuplah sudah Pak lurah dengan statusnya yang terhormat itu... dan sekarang istrinya kembali kepada keluarganya... bersama anak-anak yang belum menikah... rumah disita oleh bank... karir sebagai sumber penghasilan yang akhirnya harus tamat. Sadarlah akhirnya masyarakat dengan gumaman.. Oooo jebule le sugih ki mergo korupsi karo ngapusi tho?
Ya iyyalah... hehehe... berapa sih gaji lurah sebagai PNS golongan III C/D, paling banter take home-nya ya 2 jutaaan... gak tahu yang gak resminya hehehehe... Tapi karena menyandang status yang terlalu berat... jadilah Pak Lurah itu menempuh shortcut untuk mengimbangi statusnya di mata masyarakat.
Satu yang mengagetkan adalah beliau ternyata seorang sarjana hukum.... walah! Sarjana hukum kan kompetensinya ya ngerti masalah hukum... tahu mana yang benar dan mana yang salah... e lha kok malah jalan terus dengan hal yang salahnya.
Masih banyak contoh di dalam masyarakat di mana sebenarnya titel lebih identik dengan status dan gengsi daripada sebuah wujud kompetensi akademik.
Ada seorang teman yang bekerja pada sebuah PTS... yang mahasiswanya mayoritas seumuran pak liknya. Apa tujuan kuliah... ya nyari gelar, biar pangkat dan jabatan naik... hasilnya ya yang penting nilai dan lulus, nggak peduli ilmunya nyantel nggak.. yang penting nilai baik dan lulus... Celakanya motivasi ini banyak dibarengi dengan tindakan yang kurang terpuji... datang ke rumah dosen dengan membawa punjungan... memberikan ini dan itu... yang nggak mungkin dilakukan kalo yang bersangkutan tidak menyandang status sebagai mahasiswa mata kuliah dosen itu... Dengan cara-cara seperti ini diharapkan mereka dapat mengambil hati sang dosen dan pada akhirnya tugas dan soal ujian dipermudah.. bahkan kalo bisa dinegosiasikan dan akhirnya mendapatkan nilai yang baik... lulus... dapat gelar..
Itulah makanya di benak saya masih saja tersisa sebuah pertanyaan... setiap tahun negara kita ketambahan sarjana, master-magister, doktor-Ph.D bahkan para profesor... tapi mengapa kondisi pendidikan, sosial-ekonomi, hukum... singkatnya kehidupan kita bukannya bertambah baik dan benar tapi malah semakin tidak karuan? Dua orang profesor senior yang pernah saya ajak diskusi dan saya lontarkan pertanyaan ini tidak bisa menjawab... mengalihkan kepada hal lain. Kalo begini.. apa gunanya sekolah, sekolah tinggi, universitas dengan berbagai atribut gelar yang dimilikinya jika tidak bisa memberikan kontribusi yang positif dan signifikan bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat?
Makin banyak orang pinter di bidang hukum (sarjana, notaris, master-magister, doktor dan profesor) tapi hukum kita makin tidak jelas... yang salah bisa jadi benar dan yang benar sering disalahkan... yang mau bayar dilancarkan... yang lugu dan tidak punya dicelakakan...
Di bidang yang saya tekuni yang berkaitan dengan politik, kondisinya lebih buruk lagi. Politik sebagai sebuah ilmu hanya dijadikan sebagai pembenar atau justifikasi atas tindakan, motif dan kepentingan kelompok tertentu saja. Tidak pernah dan tidak benar bahwa apa yang mereka lakukan berorientasi kepada rakyat. Rakyat hanyalah sebagai pembenar semata. Tengoklah pemilihan kepala daerah langsung yang seperti sedang menjadi tren di Indonesia... betapa politik di tingkat lokal hanya sebagai mainan elite dan pemodal... ada take and give saat kampanye dan saat menjabat selama 5 tahun kelak.
Demokrasi? Konsep lucu dari mana lagi ketika selembar kertas suara dapat mengawal kepentingan rakyat untuk 5 tahun ke depan ? Saya tidak percaya dengan demokrasi karena itu hanyalan gula-gula politik... Amerika dan Eropa yang katanya kampium demokrasi juga tidak se-smooth yang saya bayangkan sebelum mengalaminya sendiri... bahkan ketika saya berdiskusi dengan profesor senior di Political Science Dept., yang menggerakkan demokrasi bukan lagi kepentingan rakyat.. tapi lobby dan uang... itulah jalan pintas kalau ingin berkuasa... Demokrasi hanya sebagai justifikasi bagi aktifitas politik yang dinaungi oleh kesadaran kolektif akan sebuah sistem yang ideal dan memihak rakyat walau pada praktiknya sangat bertolak belakang.... Demokrasi hanyalah titel bagi elit politik yang ingin mengekalkan kekuasaannya dengan bermain wacana atas nama rakyat.
Di Indonesia buktinya sekian lama pemilihan kepala daerah langsung yang muncul malah namanya konflik, korupsi serta arogansi kekuasaan... tidak ada kalo bisa dikatakan sangat sedikit demokrasi lokal yang sukses mensejahterakan rakyatnya...
Ada juga cerita menarik dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang katanya sukses di bidang investasi... saat saya main ke pabrik-pabrik (maksud mereka mau nunjukin.. ini lho realitasnya he ..) tapi yang saya tangkap sebenarnya realitas yang menyesakkan... bagaimana tidak, ribuan buruh yang bekerja di pabrik yang katanya mendorong investasi ternyata hanya dibayar 400 ribu rupiah perbulan dengan 8 jam kerja seminggu selama 5 hari... sangat jauh di bawah upah minimum regional... secara ketakutan mereka para pekerja bercerita bahwa tidak ada alternatif lain bagi mereka selain menerima pekerjaan dengan upah tidak sepadan itu daripada menganggur dan tidak punya uang... padahal setiap hari butuh uang untuk makan, anak sekolah.. belum yang lain seperti kesehatan. Jadi teman.. kalo ingin tahu keberhasilan investasi.. jangan tanyakan pada bupati atau kepala dinas.. tanyakan pada buruh yang berpeluh untuk berjuang menjalankan roda ekonomi riil ... berkorban untuk kepentingan pemilik modal yang mungkin sudah bersekongkol dengan penguasa lokal hehehehe...
Makanya saya nggak kaget ketika temen-temen dari department lain nanya , kamu kuliah di department apa? Dijawab Political Science... sebagian mereka terbelalak dan kaget walo akhir-akhirnya menjawab kalem.. that's great! Great apane ?
Di Indonesia banyak ilmuwan politik yang kerjaannya sehari-hari hanya berdiskusi dan berdebat soal teori yang datangnya entah dari mana. Bukannya menciptakan solusi tapi malah mengklaim kebenaran satu sama lain. Bukannya mengkaji teori apa yang muncul dari dinamika masyarakat kita.. malah ngambil, ngadopsi dari mana entah untuk dijejalkan kepada masyarakat. Lihatlah di negeri anu.. negara itu... filosof ini.. itu... metodologi ini dan itu... apa artinya kalo tidak bisa menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat?
Celakanya lagi banyak di antara teman-teman kita dari seluruh Indonesia yang hanya jadi intelektual tukang yang bekerja atas pesanan pihak tertentu, survey pilkada, tim sukses, legitimasi kebijakan... seolah dengan menggunakan para intelektual dari perguruan tinggi mereka bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat.... O alaaaah !
Jadilah titel sekarang hanya untuk kepentingan praktis dan prestise.. buktinya, seseorang justru akan berdebat mati-matian mempertahankan pandangannya daripada bersepakat mencari jalan keluar yang lebih baik dan bijak. Itu tandanya sudah ada keberpihakan kepada sesuatu.. bukan kepada ilmu itu sendiri.
Dan yang lebih menyakitkan bagi saya... bagaimana titel itu kemudian malah menjadi alat, daya tarik untuk mendatangkan uang, gengsi, status, jabatan dan kehormatan... bukan untuk menciptakan sebuah kreasi yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Semoga ijtihad saya dan istri mengenai titel membawa manfaat bagi kita dan juga teman-teman yang sempat mampir membaca unek-unek saya ini... dan semoga Allah Ta'ala menunjukkan jalan yang lurus dan baik bagi kita, di dunia ini dan di akhirat kelak..
Mohon maaf jika ada tulisan yang tidak berkenan... saya hanya berusaha untuk jujur walau kadang pahit atau menyakitkan.
Mohon maaf jika ada tulisan yang tidak berkenan... saya hanya berusaha untuk jujur walau kadang pahit atau menyakitkan.
Sekian jika kalian punya gagasan lain silahkan komentar.
Mari diskusi bersama !!