Banyak orang bilang ... seseorang sebagai pribadi dinilai dari banyak hal. Pertama dan utama adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah fisik, penampilan. Tapi banyak orang akhirnya tertipu jika hanya menilai dari sisi ini saja. Lantas banyaklah kriteria penilaian terhadap orang di luar fisik, intelegensi (IQ), perkataan, sikap, perbuatan, akhlak, keluarga, relasi dan lain sebagainya.
Satu yang menarik bagi saya dan sangat sederhana bahwa kita dapat menilai pribadi orang lain dari kata dan perbuatannya. Apakah ada kesesuaian di antara keduanya?
Banyak orang pintar berkata-kata, kutip sana kutip sini atas nama kitab suci, kebenaran ilmiah, konsensus ilmuwan, sejarah, rasionalitas, filsafat, ilmu pengetahuan, seolah dia dilahirkan untuk menjadi juru dakwah dari sesuatu yang diyakininya. Kadang dengan congkaknya memvonis orang lain tidak benar, tidak ilmiah, tidak rasional, tidak agamais, tidak bijak .... tidak seperti gue gitu loch! Saya bicara maka saya ada, inilah saya ....
Maka muncullah profesi dengan latar belakang pengecer mulut ini, mulai tukang obat, sales, artis, pendakwah, ilmuwan (termasuk di dalamnya guru dan dosen -dengan segala hormat-), broker, makelar sampai yang paling sederhana adalah timer/manol ... orang yang menawarkan jasa transportasi yang biasanya berada di halte atau titik strategis tempat orang menunggu kendaraan umum. Apakah profesi itu baik? Ya, jelas bahkan sangat mulia jika ia yang mengenakan profesi itu melakukannya dengan kesungguhan, dengan hati dan berniat bagi kebaikan. Lantas apa yang salah? Tidak ada yang salah ....
Ada juga orang yang pelit bicara, lebih suka melakukan sesuatu, menjalankan sebuah pekerjaan tanpa harus basa-basi, ba bi bu, omong sana-sini. Cekat-ceket bahasa Jawanya. Bahkan ada sebagian orang di sisi ini yang muak melihat berbagai basa-basi dan umbar kata-kata. Kakeyan c*c*t katanya. (Ups, sensor nih!).
Well, 2 kutub yang berbeda ini sangat menarik untuk dicermati, namun banyak juga orang yang lebih memilih satu di antara keduanya. Sayangnya kebanyakan lebih memilih untuk berkata dan berwacana daripada "bekerja", doing something worthy. Sehingga sebuah ungkapan Jawa .... sepi ing pamrih rame ing gawe...(diam-diam dalam mengharapkan imbal jasa, beramai-ramai dalam bekerja) menjadi tidak bermakna lagi bahkan mengalami penjungkirbalikan dari makna sesungguhnya. Orang lebih suka .... sepi ing gawe rame ing pamrih ... (diam-diam dalam bekerja, atau malah tidak bekerja dan ramai mengharapkan imbal jasa). Hasilnya sering kita lihat bahwa di sekitar kita lebih banyak orang debat, argumentasi tentang sesuatu hal ... namun kosong dalam realisasi, kaya konsep tapi miskin operasionalisasi.
Pemberantasan korupsi hanya berhenti di meja seminar, pemberdayaan masyarakat hanya jadi perbincangan hangat di kafe, bahkan hal yang sangat fundamental seperti masalah agama dan kepercayaan hanya berhenti di televisi dan diskusi. Sesuatu yang sangat tragis bahwa orang lebih suka berdebat dan berwacana yang ujung-ujungnya jika muncul perbedaan akan lebih memicu kepada permusuhan dan perseteruan ketimbang komitmen atau kesepakatan.
Dari sini terlihat, betapa orang lebih suka umbar janji dan mulut ketimbang melakukan sesuatu pekerjaan sebagai kelanjutannya. Banyak omong itu baik ... bisa jadi mencerahkan ... namun akan lebih baik omongan itu dibuktikan dengan karya nyata. Inilah state of mind saya ... dan inilah implementasinya. Perfect!
Jangan sampai kita menjadi orang yang terkungkung dengan hanya bisa bicara dan berujar ... namun tidak bisa menjalaninya.
Makna pribadi seseorang adalah paduan antara kata dan perbuatan, bagaimana keduanya saling melengkapi dan mencerahkan bagi sebuah kehidupan, bukan malah mencelakakan atau menistakan di antara keduanya atau bagi orang lain di sekitarnya.
Mari kita renungkan ... sudahkah sesuai kata dan perbuatan kita?
Sudahkah idealisme yang ada di benak kita mengenai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran terefleksikan dalam kata dan perbuatan kita?